Jumat, 06 Maret 2009

SDM Filiphina

FILIPHINA
Ada satu hal yang membuat miris dengan keadaan negara ini, yaitu keberadaannya yang yang tidak jauh beda dengan Indonesia. Namun mereka punya cukup sumber daya yang sangat luar biasa. Pinoy (orang Filipina) yang berada di luar negeri sudah mencapai puluhan juta orang. Sebegitu banyaknya hingga ada seorang pinoy yang sudah menjadi gubernur di Hawaii yang merupakan bagian dari Amerika Serikat. Serta, banyak pula tenaga kerja yang terbaik dan punya kemampuan kerja dan bahasa yang tinggi, bukan seperti TKI kita yang menjadi korban di negara dimana mereka bekerja dan yang sering menjadi kabar buruk bagi bangsa Indonesia.
Ternyata stereotip yang negatif seperti TKI di Indonesia tidak menjadi suatu hal yang buruk bagi para pinoy. Para pinoy yang pulang ke Filipin disambut bak ibarat pahlawan. Sering terlihat kotak-kotak di Lapangan Terbang Benigno Aquino Manila yang bertuliskan ‘BALIKBAYAN BOX’ atau “Kotak Pulang Kampung”, begitulah kira-kira artinya. Apalagi menjelang Natal setiap tahun, segera terdengar lagu-lagu Natal, bahkan sejak bulan September.
Penyebaran tenaga kerja mereka cukup beragam, bukan saja tenaga kerja yang mengandalkan otot dan tenaga saja, akan tetapi juga tenaga kerja yang mengandalkan kecerdasan tinggi dan bekerja sebagai tenaga ahli keuangan dan teknologi lainnya, seperti adik saya yang ada di Bangkok saat ini. Kembali kepada hati saya yang miris tadi, dimana bangsa kita yang sedang terpuruk ini, Indonesia, apakah mau belajar dari situasi di negara negara Asia lainnya? Apakah kita hanya menjual tenaga murah saja? Saya sering sedih mendengar teman-teman dari Singapura yang mengatakan mereka lebih memilih ‘maiden’ dari Filipina atau Sri Lanka dibandingkan yang dari Indonesia, walaupun mungkin gaji mereka lebih tinggi.
Sekali lagi ini adalah soal SDM, bahkan yang namanya tenaga kasar saja mereka masih memilih SDM yang bermutu, menyedihkan. Di Manila saya jumpa dengan seorang supir taxi yang membawa saya ke Makati Green Belt 1-4, dan dia mengatakan bahwa dia pernah menjadi supir truk di Saudi dan Bahrain selama 7 tahun. Ia akan pergi ke sana lagi awal tahun 2007. Saya bukan menunjukkan bahwa ke luar negeri itu adalah solusi, akan tetapi saya melihat bahwa sampai ke posisi yang paling kecilpun mereka, orang-orang Filipina, dapat diberikan acungan jempol karena mereka punya SDM yang cukup tinggi. Bahasa Inggris terutama. Jika ini dikembangkan di masyarakat kita, disamping bahasa Indonesia dan bahasa Karo, wah Indonesia pasti jadi luar biasa. Koran bahasa Inggris juga akan dilahap oleh semua elemen bangsa, bukan saja kaum expatriate di kota-kota besar saja.
Inilah yang menjadi bahan perenungan kita, kemarin pada saat saya membawakan presentasi ‘GRAB THE FUTURE’ di LDK Permata GBKP Jakarta Palembang, saya mengatakan, tantangan kita di Indonesia sungguh besar, tetapi apakah passion dan compassion kita serta respon kepada situasi yang ada saat ini? Kita tidak bisa membiarkan keterpurukan Indonesia ini terus terjadi, marilah kita sama-sama raih masa depan kita secara pribadi tanpa melupakan situasi dan kondisi bangsa kita ini. Tugas ini ada di pundak kita masing-masing, agar kiranya Misi Tuhan Allah di muka Bumi ini dapat terwujud, dan Kabar Kesukaan-Nya dapat bergema di seluruh Bumi Indonesia dan Tanah Karo secara khusus.
http://www4.gbkpjakartapusat.org/?p=96
DI Filipina Keunggulan personal di tingkat kemampuan teknis yang mewarnai format kualitas profesionalisme, tampaknya tak cukup sebagai jaminan karir dan usaha akan sukses dalam kompetisi global. Sebagai contoh, pada akhir 2001, Enron (USA), perusahaan energi yang beroperasi secara global, tiba-tiba harus berhenti berusaha karena moral hazard dari para profesional bahkan top manajemennya. Kasus yang sama juga banyak terjadi di Indonesia, yang oleh karenanya mengakibatkan krisis nasional yang masih kita rasakan sampai hari ini.
pemerintahnya melakukan kebijakan dan program nasional terhadap pengembangan SDM-nya, terutama peningkatan kualitas dan kuantitas para profesionalnya, walau dari sisi integritas masih dalam tingkat lebih tinggi.
Globalisasi yang ditandai bebasnya perdagangan, lalu lintas kapital, teknologi dan pengetahuan, juga membuat bebasnya arus lalu lintas SDM. Berarti, Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, seharusnya sektor jasa tenaga kerja menjadi prioritas tinggi dikembangkan menjadi kekuatan yang ditawarkan di pasar global. Tapi realitasnya belum tergarap baik, dan justru kian mengalami penurunan kualitas SDM. Ini akan membuka peluang masuknya SDM negara lain.
Karena kita kekurangan tenaga-tenaga di level menengah dengan keahlian khusus, maka tak terhindarkan kita harus mengundang dan menerima tenaga negara asing yang dibutuhkan usaha-usaha baru di berbagai sektor akibat promosi dan kebutuhan investasi di Indonesia. Investasi sendiri merupakan prioritas tinggi yang harus didorong tumbuh untuk memperbaiki perekonomian nasional yang terpuruk dan menampung angkatan kerja yang kian besar.
Ironisnya, walau dalam negeri kita telah tersedia SDM dengan kualifikasi khusus, masih kerap terjadi mereka itu belum dapat diterima pasar karena citra pekerja Indonesia belum mampu membangun image kepastian dan keyakinan. Konsekuensinya, banyak perusahaan domestik yang terpaksa mempekerjakan tenaga asing semata-mata untuk meyakinkan pembeli.
Internasionalisasi SDM selain menghasilkan devisa juga akan bermanfaat sebagai sarana promosi produk nasional di luar negeri. Bahkan jika belajar dari pengalaman Filipina dan Korea, di saat menghadapi masa krisis ekonomi beberapa tahun lalu, para pekerja dan warga negaranya yang berada di luar negeri dengan semangat kejuangan bertindak sebagai importir dengan mengambil risiko mengambil keuntungan kecil asalkan bisa ikut menjual produk dalam negerinya. Tujuannya untuk mempercepat proses perbaikan ekonomi dalam negerinya.
Problem lain yang tak kalah penting mesti ditanamkan bagi SDM yang akan bekerja dalam komunitas global ialah kemampuan mengenal dan menyesuaikan budaya lokal di mana mereka bekerja. Apalagi bagi mereka yang akan menduduki jabatan strategis, sungguh penting punya pemahaman manajemen multikultur karena kelak akan kerap berhadapan dengan hambatan yang bermuara dari perbedaan kultur. Perbedaan kultur tak cuma di level bangsa/negara, bahkan dalam skala perusahaan telah memiliki kultur korporasi tersendiri.
Memenangkan persaingan global tak cukup melalui tawaran atas produk atau jasa yang bermutu dalam tampilan ataupun prosesnya, termasuk harga bersaing. Tapi juga dibutuhkan kemampuan mengatasi tantangan yang terjadi karena adanya interaksi bisnis antarkulturnya. Artinya, dalam pasar global yang tengah berkembang, bisnis akan senantiasa menemui tantangan-tantangan baru yang terkadang berbeda dengan kebiasaan sebelumnya.
Solusi untuk keadaan itu, tak bisa ditawar lagi, motor di balik dinamika bisnis yakni SDM harus senantiasa mencermati dan menyesuaikan dengan keadaan tadi. Negara (pemerintah) kita idealnya harus bisa pula menyiasati dan menyiapkan SDM-SDM bermutu sesuai konteks di atas.
Penulis adalah anggota Aceh Networking for Ethics Studies (ANfES), direktur Pusat Studi Kebijakan URJ}.


Resesi yang membebani perekonomian global baru-baru ini telah membuka pintu peluang bagi penyedia jasa outsourcing teknologi informasi (TI) Filipina karena berbagai perusahaan dunia kini mulai melihat outsourcing sebagai sebuah pilihan strategis untuk memperoleh dan mempertahankan keunggulan kompetitifnya dalam skala internasional.

Dalam sebuah wawancara dengan majalah Computerworld Filipina, Ralf Ellspermann, CEO Philippine IT Offshore Network (PITON) mengatakan bahwa meskipun krisis ekonomi global juga berdampak pada industri TI, ada titik cerah bagi para penyedia jasa offshore Filipina untuk merangkul para IT buyers yang tengah mencari jasa offshore terbaik dengan harga murah.

“Masalahnya, pasar internasional masih menganggap India sebagai satu-satunya negara yang memiliki penyedia jasa offshore, sementara Filipina sendiri memiliki SDM TI kelas dunia dalam jumlah besar, dan menurut pendapat saya, lingkungan offshore-nya yang ditawarkan pun lebih baik,” ujarnya. Ellspermann adalah sendiri adalah seorang ekspatriat enterpreneur, yang mendirikan suatu jaringan perusahaan IT-enabled lokal, yang akan dipasarkan secara internasional ke perusahaan-perusahaan yang tengah mencari jasa offshore terbaik.

Meskipun Filipina tidak pernah bisa melampaui India dalam hal jumlah penyedia jasa, menurut Ellspermann, Filipina memiliki beberapa keunggulan dibandingkan India seperti infrastruktur telekomunikasi yang lebih baik dan sumber daya manusia berbahasa Inggris dengan aksen yang lebih baik, dimana hal ini merupakan faktor penting dalam penyediaan jasa call center.

Namun demikian, menurut perusahaan riset Gartner, Filipina kurang atraktif bagi para investor jasa berbasis TI karena rendahnya awareness dan pengetahuan pasar dunia mengenai keunggulan-keunggulan yang ditawarkan negeri ini.

Karena itu, menurut Ellspermann, PITON akan bertindak lebih proaktif sebagai sumber informasi mengenai Filipina dan sektor jasa IT-enabled-nya. “Memilih vendor yang tepat seringkali membutuhkan biaya mahal dan waktu lama, dan membutuhkan analisis riset pasar dan vendor yang komprehensif dan kunjungan secara langsung ke vendor,” jelasnya. “Permasalahan ini mendorong kami mengembangkan suatu pendekatan, yang mempermudah klien-klien kami untuk memperoleh informasi secara cepat dan terpercaya mengenai penyedia-penyedia jasa berbasis TI utama Filipina.”

Kini PITON mewakili sekitar 20 vendor jasa berbasis TI Filipina, termasuk perusahaan-perusahaan pengembangan piranti lunak dan call center, dengan tenaga kerja lebih dari 6.000 orang profesional TI. Klien-klien multinasionalnya meliputi Intel Corp., Citibank, P&G, Microsoft, HP, Walt Disney Company, Pacific Bell, Fluor Corporation, Nokia, Alstom, Schlumberger, Petro-Canada, Pennzoil-Quaker State, Union Fenosa International dan Cambridge Water.

Ellspermann yakin bahwa industri call center Filipina sudah menjadi sektor yang mapan dan tidak lagi membutuhkan asuhan dari pemerintah. Ia menambahkan bahwa pemerintah sebaiknya sekarang lebih berkonsentrasi membantu penyedia jasa TI skala kecil dan menengah.

“Pemerintah tidak perlu lagi mengurusi industri call center karena toh industrinya sudah jadi dan jalan,” ujarnya. “Apa yang dibutuhkan sekarang adalah fokus ke jasa transkripsi medis (medical transcription), business process outsourcing (BPO), pengembangan aplikasi dan usaha kecil menengah (UKM).”

Meski masih dini, usaha PITON untuk mempromosikan jasa outsourcing Filipina nampaknya mulai membuahkan hasil. Ellspermann mengungkapkan bahwa baru-baru ini PITON memperoleh sebuah order jasa transkripsi dengan sebuah grup konsultan kesehatan besar berbasis di AS. “Satu order ini saja sudah memaksa penyedia jasa transkripsi kami untuk melipatgandakan kapasitasnya dan merekrut lebih banyak SDM lagi,” ujarnya.

International Data Corporation (IDC) memperkirakan bahwa volume offshore outsourcing akan meningkat tiga kali lipat dari 6,5 milyar dolar tahun ini menjadi lebih dari 17,6 milyar dolar pada 2005 mendatang. Organisasi riset TI lainnya, Giga, telah menempatkan Filipina dalam tiga besar negara penyedia jasa outsourcing.
http://www.ebizzasia.com/0105-2003/asia,0105,p2.htm

Apabila kita melihat kepedulian pemerintah Filipina kepada tenaga kerjanya sangat bertolak belakang dengan Indonesia. Pemerintah Filipina mendukung secara aktif, dimana mereka ikut terlibat sejak pengurusan penempatan kerja, advokasi, kesejahteraan, pengurusan kepulangan dan lain sebagainya (Samhadi, 2005).
Hal ini sangat bertolak belakang dengan Filipina. Jika dibandingkan, Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan Filipina. Indonesia sama-sama merupakan negara berkembang di asia tenggara dengan permasalahan ekonomi, ketenagakerjaan serta penduduk yang padat. Namun jika dilihat dari kualitas SDM mereka, bisa dikatakan kita tertinggal jauh. Sebagai bukti, Filipina tidak lagi tergolong sebagai negara korup di Asia. Jika dilihat dari parameter tingkat pendidikan serta kesehatan, Filipina cukup unggul (Kompas, 2005).
Samhadi (2005) melaporkan bahwa kebanyakan dari TKF ini berpendidikan tinggi (Akademi, Perguruan tinggi).
Penyebab permasalahan bukan hanya dari sisi pemerintahan saja, tetapi juga melibatkan TKI itu sendiri. Jika dilihat dari segi sosial ekonomi, Mukadis (2005) menganalisa bahwa penyebab banyaknya jumlah TKI antara lain kurangnya lapangan kerja karena pengaruh krisis ekonomi, paradigma berpikir yang tidak kreatif, tidak ditanamkannya sikap berani (be a pigeon among the peacock), kurangnya penghargaan dari bangsa sendiri, dipermalukan jika memiliki pendapat yang berbeda. Diduga akar dari semua permasalahan di atas berasal dari cara pendidikan bangsa Indonesia yang tidak benar.
Pembahasan
Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Juni (2005), beberapa faktor penyebab tidak selesainya permasalahan TKI dari dalam negeri (Indonesia), antara lain permasalahan di bidang ekonomi, pemerintahan dan sosial. Mengkaji permasalahan sosial dan ekonomi, maka salah satu sila yang berbicara banyak tentang hal itu adalah sila ke lima Pancasila. Sila ke lima dalam penyusunanya didasari, diliputi dan dijiwai oleh keempat sila yang lain (Kaelan, 1999). Dengan kata lain Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia dan berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat klebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975). Pemahaman dari sila ke lima tersebut ternyata belum sepenuhnya bisa dijalankan oleh “bangsa Indonesia” secara murni dan konsekuen. Hal tersebut bisa dilihat dari kasus TKI 31 Januari 2005. Pada kasus tersebut, tergambar jelas rendahnya tingkat kesejahteraan umum serta kecerdasan bangsa Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bandingkan dengan Filipina yang memiliki tingkat SDM dan kesejahteraan yang di atas rata-rata.
Kemudian muncul pertanyaan mengapa kita bisa kalah bersaing dengan Filipina. Kami melihat banyak faktor yang cukup berperan dalam permasalahan ini, tetapi dalam pembahasan ini kami akan membatasi pada sisi pemerintahan saja. Jika membahas tentang pemerintahan, maka menurut kami teori kebutuhan McClelland dalam Mukadis (2005) mampu menjawabnya. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan (Mukadis, 2005), terlihat bahwa ternyata “kebanyakan” para pemegang keputusan di negeri ini tidak menunjukkan contoh yang bagus. Mereka cenderungan minta untuk dilayani (tingginya nPow) daripada untuk melayani. Bisa dikatakan mereka bersikapa acuh tak acuh terhadap nasib jutaan TKI di luar negeri. Hal tersebut sangat bertolak belakang sikap pemerintah Filipina yang mendukung tenaga kerja mereka secara aktif, sejak pengurusan penempatan kerja, advokasi, kesejahteraan, pengurusan kepulangan dan lain sebagainya (Samhadi, 2005).
Perbandingan kinerja pemerintahan (birokrat) dari kedua negara sudah sangat jelas berbeda. Birokrat Filipina sangat menonjolkan pelayanan mereka kepada masyarakat, sedangkan Indonesia adaloah sebaliknya. Semangat pelayanan (nAch) birokrat kita diragukan.
Sampai disini kita bisa melihat, bahwa ternyata betapa jauh perbedaan kita dengan negara tetangga kita (Filipina).
Apabila kita mau menilik kedalam, sikap para birokrat kita yang seperti itu sudah melanggar konsensus bersama yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan dasar berdirinya negara ini. Konsensus bersama itu merupakan pandangan hidup bangsa yang dibangun dari nilai-nilai luhur bangsa ini. Betapa egoisnya birokrat kita karena sudah menelantarkan ribuan WNI yang berstatus TKI di luar negeri.
Di dalam alinea 4 pembukaan UUD 1945 tertulis “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ……”. Kalimat ini memiliki tujuan khusus, yaitu untuk realisasi pembangunan bangsa Indonesia ke dalam dengan membentuk negara hukum formal dalam hubungannya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta membentuk negara hukum material yang hubungannya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (Kaelan, 1999).
Para pengambil keputusan kita ternyata belum memahami sepenuhnya maksud serta tujuan dari kalimat yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Seandainya mereka mau memahami serta melaksanakannya, menurut pendapat kami permasalahan TKI yang telah ada sejak 1970-an tidaklah akan berlarut-larut. Permasalahan dari oknum birokrat ini, berdasarkan hasil analisa kami adalah paradigma mereka yang “mati”. Kematian paradigma ini banyak sekali penyebabnya, tetapi kami melihatnya berdasarkan ulasan artikel yang ditulis Mukadis (2005).
Di dalam artikelnya Mukadis (2005) memaparkan adanya “kesalahan cara berpikir “dari kebanyakan orang terdidik di negeri ini. Kesalahan berpikir itu antara lain paradigma berpikir yang tidak kreatif, tidak ditanamkannya sikap berani (be a pigeon among the peacock), kurangnya penghargaan dari bangsa sendiri, dipermalukan jika memiliki pendapat yang berbeda. Diduga akar dari semua permasalahan di atas berasal dari cara pendidikan bangsa Indonesia yang tidak benar. Kita mau mengakui atau tidak inilah sekarang yang kebanyakan kita temui di masyarakat. Permasalahan ini merupakan induk dari semua permasalahan yang ada di negeri ini. Jika masalah inti tidak dapat diselesaikan, maka masalah yang lain tidak akan selesai juga.
Ulasan kami di atas menyatakan bahwa pendidikan merupakan masalah penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Kami menyatakan pendidikan sangat penting dan merupakan hal yang mendasar karena dari pendidikan cara pandang seseorang terhadap permasalahan yang terjadi di sekitarnya mulai terbentuk.Pola-pola berpikir, mengambil keputusan mulai terasah dan tertanam. Maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika pendidikan awal sudah salah, tentunya dalam perkembangan selanjutnya akan semakin bertambah parah. Dengan kata lain menyimpang dari jalur yang seharusnya (melanggar konsensus).
http://www.adminduk.depdagri.go.id/index.php?action=content&id=2009010915135193

Kualitas SDM

Inilah nasib sebuah bangsa yang pemerintahnya belum memprioritaskan sektor
pendidikan, belum menjadikan pendidikan sebagai aset bangsa dan negara.
Kualitas sumber daya manusia (SDM) kita tertinggal jauh dibandingkan
negara-negara lain. Sebut saja Malaysia dan Singapura. Juga negara-negara
seperti Filipina dan mungkin juga Thailand, Vietnam, serta lainnya.

Hal ini bisa dilihat misalnya pada bursa tenaga kerja. Para pekerja kita yang
bekerja di luar negeri kebanyakan adalah tenaga kerja rendahan: Pembantu rumah
tangga, sopir, kuli bangunan, dan tenaga kerja kasar lainnya. Di sejumlah
negara di Timur Tengah, tenaga kerja kita sama dengan mereka yang dari
Bangladesh, Nepal, Pakistan, dan negara-negara miskin lainnya.

Ini berbeda dengan kebanyakan tenaga kerja dari Filipina, Thailand, dan India
misalnya. Mereka merupakan tenaga kerja profesional: Perawat/tenaga medis,
dokter, dan teknisi. Ada memang tenaga kerja kita yang menduduki level menengah
seperti manajer atau direktur sebuah perusahaan, pilot, pramugari, dan
seterusnya. Namun, jumlah mereka sangat kecil. Karena itu Anda jangan marah
atau tersinggung ketika berada di luar negeri Anda juga diperlakukan seolah
tenaga kasar.

Akibat lain dari rendahnya kualitas SDM kita adalah kita belum mampu
memanfaatkan semaksimal mungkin berbagai kekayaan alam negeri ini. Selain
minyak dan gas, hutan kita menyimpan berbagai macam kayu, laut kita kaya
beragam ikan dan terumbu karang, tanah pertanian kita subur ditanami
macam-macam tanaman dan bunga-bungaan. Tapi, negara manakah yang terkenal
dengan produsen cokelat, teh, mebel, tanaman hias, dan lain-lainnya, padahal
negara kita penghasil semua itu.

Begitu juga dengan jumlah wisatawan asing. Kita masih kalah dengan Malaysia dan
Thailand. Padahal, sekali lagi, keindahan alam dan budaya kita tidak kalah
manarik dibandingkan negara lain.

Intinya, kita belum mampu memberi nilai tambah pada hasil-hasil kekayaan alam
kita sendiri. Justru negara lainlah yang mengambil untung dari negeri kita yang
subur makmur nan indah ini.

Penyebabnya, selain kebijakan pemerintah yang sering salah arah, juga SDM kita
yang berkualitas rendah, lantaran kita belum menganggap pendidikan sebagai aset
yang paling berharga.

Sebagai contoh mencolok bahwa pendidikan belum dianggap sebagai aset, lihatlah
anggaran pendidikan kita yang hanya 11,8 persen dari APBN 2007. Itu pun masih
sering salah sasaran. Padahal UUD 1945 (hasil amandemen) telah mengamanatkan 20
persen untuk anggaran pendidikan. Alasan pemerintah selalu saja klasik. Yakni,
belum bisa menyediakan anggapan sebesar itu, lantaran sektor-sektor lain juga
tidak bisa diabaikan.

Kita sepakat bahwa sektor lain juga penting. Namun, bila pendidikan dianggap
aset, maka anggaran pendidikan harus tetap diprioritaskan. Dalam hal ini kita
bahkan khawatir adanya wacana agar UUD 1945 diamandemen lagi, kalau memang
pemerintah tak bisa menganggarkan 20 persen dari APBN untuk pendidikan.

Selain masalah anggaran, kebijakan pendidikan kita, terutama di perguruan
tinggi, juga belum terarah, belum terintegrasi dengan pembangunan
bangsa/ekonomi secara keseluruhan. Kita belum melihat prioritas pembangunan
kita, apakah industri pertanian, jasa, atau lainnya.

Tanpa prioritas pendidikan, kita khawatir pada tahun-tahun ke depan bangsa kita
akan menjadi ''babu'' di negeri sendiri. Apalagi globalisasi akan semakin
menipiskan batas-batas negara untuk para pekerja migran.

Tidak ada komentar: