Rabu, 01 April 2009

praktek sdm di mexico 1

Analisis Kepentingan Nasional
Mengingat konsep kepentingan nasional bersifat relatif maka parameter yang mengacu kepada konsep kepentingan nasional tentu saja tidak mudah diukur. Konsep ini juga bervariasi dari yang bersifat cenderung abstrak (politis) hingga yang lebih konkrit (ekonomis). Pertanyaan yang mengemukan dengan demikian adalah bagaimana mengidentifikasi dan kemudian mengukur kualitas kepentingan nasional ini, dan khususnya kepentingan nasional Indonesia di bidang kelautan dan perikanan. Upaya memperoleh kejelasan perihal konsepsi ini sangat penting mengingat keputusan untuk ikut-serta ke dalam suatu kerjasama internasional pada akhirnya bermuara kepada upaya pemenuhan kepentingan nasional.
Secara sederhana konsep kepentingan nasional dapat “diukur” dari potensi strategis yang dimiliki negara itu sendiri dalam hubungannya dengan sesama aktor negara. Kriteria yang dibuat ahli politik internasional, George F. Kennan (1951) tampaknya bermanfaat untuk memahami makna konsep kepentingan nasional dalam hubungan antarnegara. Kennan membuat definisi konsep ini secara negatif tentang apa yang tidak termasuk ke dalam pengertian kepentingan nasional. Pertama, konsepsi kepentingan nasional bukan merupakan kepentingan yang terpisah dari lingkungan pergaulan antarbangsa atau bahkan dari aspirasi dan problematika yang muncul secara internal dalam suatu negara. Kepentingan nasional suatu bangsa dengan sendirinya perlu mempertimbangkan berbagai nilai yang berkembang dan menjadi ciri negara itu sendiri. Nilai-nilai kebangsaan, sejarah, dan letak geografis menjadi ciri khusus yang mempengaruhi penilaian atas konsepsi kepentingan nasional suatu negara. Kedua, kepentingan nasional bukan merupakan upaya untuk mengejar tujuan-tujuan yang abstrak, seperti perdamaian yang adil atau definisi hukum lainnya. Sebaliknya, ia mengacu kepada upaya perlindungan dari segenap potensi nasional terhadap ancaman eksternal maupun upaya konkrit yang ditujukan guna meningkatan kesejahteraan warga negara. Ketiga, konsepsi ini pada dasarnya bukan merupakan pertanyaan yang berkisar kepada tujuan, melainkan lebih kepada masalah cara dan metode yang tepat bagi penyelenggaran hubungan internasional dalam rangka mencapai tujuan tersebut secara efektif.
Jika disarikan, maka konsepsi kepentingan nasional terdiri dari berbagai variabel yang menjadi acuan bagi pelaksanaan pollitik luar negeri suatu negara. Acuan ini dapat dilacak kepada konstitusi yang menjadi fondasi pembentukan negara itu sendiri. Di dalam praktek, penyelenggaran hubungan internasional kemudian didelegasikan secara penuh kepada institusi negara yang bertanggung-jawab dalam penyelenggaraan hubungan internasional. Namun secara terbatas pendelegasian kewenangan tersebut dapat diserahkan kepada organ-organ pemerintah lainnya, sesuai dengan spesifikasi kewenangan teknis. Upaya demikian dilakukan untuk mensinergikan segenap potensi kekuatan yang ada pada dataran domestik agar tujuan nasional dapat tercapai.
Meminjam kerangka fikir di atas, maka upaya memahami kepentingan nasional di bidang kelautan dan perikanan nasional dengan demikian perlu merujuk kepada beberapa potensi yang melekat pada Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bidang kelautan & perikanan. Potensi tersebut menjadi nilai tambah yang melekat dengan Indonesia sehingga dengan cara demikian dapat berfungsi sebagai parameter sebagai alat bantu analisis yang komprehensif.
Pertama, kepentingan nasional perlu dilihat dalam kerangka itikad politik untuk mengedepankan paradigma pembangunan kelautan yang lestari dengan sektor kelautan sebagai arus utama penggerak pembangunan ekonomi nasional. Upaya mengedepankan paradigma pembangunan kelautan pada gilirannya dapat pula dinilai sebagai kompensasi atas keterlambatan pemerintah dalam membangun orientasi kebijakan kelautan nasional yang terpadu. Hal ini mengingat 70% wilayah Indonesia terdiri dari laut/perairan yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Kecenderungan meningkatnya prosentasi kontribusi sektor perikanan terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional dari tahun ke tahun sejak 1996 (12,31%): 1997 (16,55%); 1998 (20,06%). Kenaikan kontribusi sektor kelautan dan perikanan dalam menopang pembangunan nasional pada masa krisis ekonomi menjadi indikasi nyata perihal potensi yang masih dapat dioptimalkan melalui pendekatan yang lebih komprehensif.
Terkait di sini adalah parameter kedua di mana kepentingan nasional perlu memperhitungkan potensi kekayaan SDA kelautan nasional, baik yang bersifat hayati dan non-hayati (migas), di dalam batas-batas yurisdiksi negara. Potensi migas nasional, misalnya diperkirakan menyimpan potensi kandungan 84,48 miliar barrel minyak yang terdapat dalam 60 cekungan migas di mana 40 cekungan berada di lepas pantai dan 14 cekungan di pesisir (Kompas: 19-11-03). Sementara itu, kontribusi sektor migas pada tahun 2002 adalah sebesar US $ 9,54 milyar di mana 40%-nya bersumber dari eksploitasi lepas pantai (Laode M. Kamaluddin: 2002). Tidak berlebihan jika kontribusi sektor penambangan migas lepas pantai hingga saat ini masih menjadi sumber utama bagi pemasukan devisa nasional. Namun pengelolaan potensi migas perlu mempertimbangkan statusnya sebagai non-renewable resource. Hal ini membawa konsekuensi perlunya digalakkan pencarian alternatif pengganti migas sebagai sumber energi. Ini berbeda dengan sektor perikanan yang karena sifatnya sebagai renewable resources dapat tetap menjadi tumpuan pembangunan nasional di masa mendatang sepanjang pengelolaannya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek konservasi lingkungan laut.
Apalagi, potensi perikanan nasional juga menyimpan kekayaan spesies yang sangat kaya, yakni mencapi lebih dari 2000 spesies. Sayangnya, sejauh ini potensi tersebut masih belum dapat dioptimalkan. Perbandingan kemampuan eksploitasi sumber daya perikanan oleh negara tetangga yang memiliki akses laut terbatas, seperti Thailand memberikan pemahaman perlunya dipertimbangkan kebijakan yang dapat mendorong kemampuan bersaing industri perikanan nasional. Berdasarkan data BRKP-DKP (2001), potensi lestari perikanan pada perairan nusantara dan ZEEI berjumlah 6,4 juta ton per-tahun. Jumlah tersebut terdiri dari 7 kelompok sumberdaya perikanan diantaranya yang menonjol: ikan pelagis kecil (3,6 juta ton/tahun), ikan demersal (1,36 juta ton/tahun), dan ikan pelagis besar (1,165 juta ton/tahun).
Dari jumlah tersebut, baru sekitar 59% yang termanfaatkan atau sekitar 3,9 juta ton per-tahun sehingga mensisakan sekitar 41%. Adanya surplus stock perikanan nasional ini membuka peluang bagi akses pemanfaatan oleh negara tetangga, suatu hal yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomis tinggi. Terkait di sini juga upaya untuk menutup kerugian yang diakibatkan illegal fishing yang kerap dilakukan nelayan-nelayan asing. Menurut suatu perhitungan kasar, diperkirakan Indonesia kehilangan devisa sekitar US $ 1-4 miliar per/tahun. Namun pemanfaatan sumber daya hayati yang, berbeda dengan migas, dapat diperbaharui (renewable) perlu mempertimbangkan tingkat eksploitasi maksimum yang lestari. Pertimbangan lainnya merujuk kepada kondisi produktifitas primer (kesuburan) laut dikaitkan dengan posisi Indonesia sebagai negara ekuatorial atau negara yang dilintasi dengan garis khatulistiwa terpanjang di dunia. Jika tingkat produksifitas primer dunia dewasa ini menurun sekitar 6% dibandingkan dekade 1980-an, kondisi sebaliknya terjadi di perairan nusantara. Proses fotosintesis alamiah ekosistem laut yang terbantu dengan tingkat curah sinar matahari yang tinggi membuat perairan nusantara menjadi wilayah subur bagi siklus kehidupan ikan (Indroyono Susilo: 2003).
Di samping itu, potensi sumber daya hayati nasional juga sangat beragam dan tidak terbatas kepada aspek perikanan semata. Ia dapat berbentuk ekosistem kelautan sebagai daya dukung aspek perikanan. Terkait di sini adalah kecenderungan untuk memberikan perlindungan terhadap biodiversity yang ada agar memberi kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemakmuran negara dan bangsa. Konvensi CBD mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai berbagai variasi yang terdapat di antara makhluk hidup dari semua sumber termasuk diantaranya ekosistem daratan, lautan dan ekosistem perairan lainnya serta kompleks-kompleks ekologis (spesies) yang merupakan bagian dari keanekaragamannya (genetik). Salah hal penting adalah potensi keanekaragaman hayati nasional sangat kaya akan keragaman ekosistem, spesies dan genetik, sehingga menempati urutan ketiga terbesar di dunia, setelah Brazil dan Mexico. Dalam konteks nasional, dewasa ini Indonesia memilki 27,2% dari seluruh spesies flora dan fauna yang terdapat di seluruh dunia sehingga menjadikannya sebagai salah satu megabiodiversity dunia (Rochmin Dahuri: 2002).
Tomascik pada tahun 1997, sebagaimana dikutip Laode Kamaluddin (2002), memperkirakan bahwa porsi terumbu karang Indonesia merupakan 14% dari yang ada di dunia. Dengan luas mencakup 85.707 km persegi, terumbu karang di perairan nusantara ini mencakup fringing reef seluas 14.542 km persegi; barrier reefs (50.223 km persegi); oceanic platform reefs (1.402 km persegi) dan atolls (19.540 km persegi). Berapa besar nilai ekonomis terumbu karang Indonesia bagi pariwisata bahari ini menurut analisis World Coral Reefs (2002) mencapai sekitar US $ 23.100 – US $ 270.000 per-km persegi. Adapun total kontribusi terumbu karang yang sehat per-tahun mencapai US $ 1.6 milyar dari kegiatan pariwisata bahari. Di samping itu, nilai strategis terumbu karang juga berhubungan dengan fungsinya sebagai pemasok nutrien dan sebagai habitat pelindung bagi ikan-ikan kecil. Karena itu, kerusakan terhadap terumbu karang dengan sendirinya akan berdampak pula terhadap cadangan sumber daya ikan. Adalah tragis bahwa potensi pemanfaatan terumbu karang ternyata dihadapkan pada tingkat kerusakan yang tinggi di mana dewasa ini hanya menyisakan sekitar 51% dalam kondisi yang baik. Selebihnya, dalam kondisi rusak atau bahkan kritis sehingga membutuhkan upaya rehabiitasi. Kebutuhan rehabilitasi terumbu karang dengan demikian juga menjadi salah satu kepentingan nasional di bidang kelautan dan perikanan yang menempati prioritas utama.
Secara makro pemanfaatan potensi SDA hayati kelautan tersebut perlu didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan sekaligus pemberdayaan masyarakat pesisir nusantara. Salah satu upaya yang perlu dikembangkan adalah melalui pengenalan teknologi, baik yang bersifat sederhana hingga yang lebih kompleks. Untuk itu, kepentingan nasional dalam menggalang kerjasama internasional bagi pemanfaatan potensi SDA kelautan nasional perlu mempertimbangkan kemungkinan alih teknologi kelautan. Namun kerjasama riset ilmiah kelautan ini perlu memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak milik intelektual yang bersumber dari pemanfaatan SDA nasional. Dalam kaitan ini perlu dicermati kecenderungan baru dalam tata perdagangan internasional untuk memberikan perlindungan terhadap hak milik intelektual (IPR) yang berasal dan dikembangkan oleh penduduk pribumi suatu kawasan (intellectual property rights of indigeniuos people). Karena itu potensi IPR yang bersumber dari kegiatan tradisional masyarakat pesisir ini selayaknya diinventarisir, khususnya pada bidang pemanfaatan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, misalnya untuk pengobatan.
Pada bagian ini, faktor peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di sektor maritim bidang jasa kelautan perlu menjadi pertimbangan. Jumlah pelaut Indonesia yang bekerja di industri wisata bahari mancanegara pada tahun 2001 diperkirakan berjumlah 2,4 juta dan menempatkan Indonesia pada urutan ketiga negara penyedia jasa pelaut dunia setelah Cina dan Filipina. Dengan jumlah tersebut dan memberikan kontribusi bagi devisa yang tidak kecil bagi negara, yakni sejumlah Rp. 12,7 triliun serta menghidupi sekitar 11,5 juta orang (Laode Kamalludin: 2002). Upaya peningkatan kemampuan pelaut nasional yang sesuai dengan standar kemampuan yang disyaratkan secara internasional menjadi variabel lain dalam mengukur kepentingan nasional di bidang kelautan. Sistem pelatihan kepelautan akan menentukan proses sertifkasi nasional yang diakui secara internasional. Pada bagian ini, Indonesia dihadapkan pada kewajiban yang muncul dari SCTW-F (Standard of Training Certification ang Wacthkeeping for Seafares – Fisheries) serta upaya mempertahankan statusnya di dalam White List (SCTW-95).
Seberapa besar nilai ekonomis potensi sumber daya hayati kelautan juga berbanding lurus dengan aspek ketiga, yakni luas wilayah perairan nasional yang tunduk dibawah kedaulatan dan yurisdiksi eksklusif Indonesia yang mencapai 5,9 juta km persegi. Jumlah tersebut terdiri dari 3,2 juta km persegi perairan teritorial dan 2,7 juta km persegi perairan ZEE. Adalah penting untuk dicermati bahwa status sebagai negara kepulauan dengan pantai yang membentang sepanjang 81 ribu kilometer - terbesar kedua di dunia setelah Kanada - memberikan akses langsung kepada sumber daya kelautan di sepanjang pantai nusantara. Kemampuan eksploitasi sumber daya hayati tersebut pada gilirannya memilliki korelasi positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, khususnya yang tinggal di pesisir. Untuk itu, perlu dilihat tingkat pemanfaatan potensi perikanan pada berbagai lokasi guna optimalisasi tangkapan dan menghindari underutilitization, namun pada saat bersamaan mencegah kemungkinan terjadinya overfishing.
Faktor keempat adalah posisi geografis-strategis Indonesia di persimpangan dua samudera dan dua laut setengah tertutup dan menjadi jalur pelayaran strategis bagi navigasi internasional. Berbeda dengan kedua faktor di atas, aspek posisi geografis – meski memberikan kemanfaatan bagi kegiatan perikanan – memberikan tantangan yang tidak kecil dalam bidang pemeliharaan ekosistem lingkungan laut dari ancaman pencemaran dan polusi laut. Dalam kerangka pemahaman realis, upaya memperjuangkan kepentingan nasional akan mendapat “tantangan” dari keinginan negara-negara maritim besar yang secara objektif lebih kuat. Dalam banyak hal, pemaksaan ini dapat dilakukan dengan cara yang canggih (sophisticated) melalui perumusan aturan main yang berlaku dalam suatu kerjasama internasional. Terkadang upaya ini juga diikuti dengan kemungkinan pentaatan hukum terhadap ketentuan yang ada tersebut. Hak negara kepulauan dalam menetapkan alur laut kepulauan (ALK) – sebagaimana dirumuskan dalam pasal 53 UNCLOS 1982 – secara kritis dapat dilihat dari pemahaman demikian. Berdasarkan pasal 53 tersebut, penetapan ALK tidak akan berarti sama sekali jika tidak mencakup seluruh rute normal yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional.

Akhirnya, pada analisis terakhir kepentingan nasional akan bermuara kepada konsepsi politik kewilayahan Wawasan Nusantara sebagaimana telah diperjuangkan sejak 1957. Pemahaman ini membawa konsekuensi bahwa kerjasama internasional yang dijalin perlu dilihat secara komprehensif dari berbagai aspek terkait (poleksosbud-hankam) dan tidak semata memberikan penekanan kepada pertimbangan ekonomis. Satu dan lain hal, pemahaman demikian merupakan suatu hal yang wajar mengingat konsepsi kewilayahan yang membuat laut sebagai pengikat kewilayahan telah menyatukan seluruh perairan nasional sebagai suatu kesatuan. Konsepsi politk kewilayahan yang diperjuangan sejak 1957 melalui Deklarasi Djuanda dan dikuatkan dengan UU. No. 4/Prp/1960 ini, akhirnya memperoleh pengakuan internasional di dalam Konferensi Hukum Laut III yang berujung pada penerimaan UNCLOS 1982 pada 10 Desember 1982. Pemerintah Indonesia sendiri tak perlu menunggu waktu yang terlalu lama untuk meratifikasi Konvensi melalui UU No. 17 tahun 1984.
Namun pengakuan internasional terhadap status Indonesia sebagai negara kepulauan ini perlu disikapi bukan sebagai pencapaian puncak perjuangan, melainkan lebih sebagai point of departure. Pemahaman ini membawa implikasi diperlukannya perumusan kebijakan kelautan nasional secara terpadu sebagai penjabaran lebih lanjut dari konsepsi kewilayahan nusantara. Upaya ini dilakukan guna melengkapi sejumlah peraturan perundangan-undangan nasional di bidang kelautan & perikanan, seperti: UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen dan peraturan pendukungnya di bidang eksplorasi migas, UU No. 5 tahun 1985 tentang ZEE Indonesia beserta peraturan pendukungnya di bidang perikanan, serta UU No. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia. Di luar ketentuan perundangan-perundangan tersebut, Pemerintah pada 28 Juni 2002 secara serentak juga telah menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah (PP), masing-masing tentang hak lintas damai (PP No. 36 Tahun 2002), hak alur laut kepulauan Indonesia - disingkat sebagai ALKI (PP No. 37 Tahun 2002) serta penentuan daftar koordinat geografis titik-titik terluar nusantara (PP No. 38 tahun 2002). Peraturan perundangan terakhir ini bahkan memiliki arti yang penting karena memperkuat konsepsi kewilayahan sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan (Indonesia).

Tidak ada komentar: